Tersesat yang Direncanakan: Perjalanan Spontan Menuju Phou Bia, Puncak Tertinggi Laos
Perjalanan ini tidak pernah benar-benar direncanakan.
Keinginan menuju Phou Bia, gunung tertinggi di Laos (±2.820 mdpl), muncul begitu saja—spontan, tanpa persiapan matang, dan nyaris tanpa informasi jelas.
Phou Bia berada di Provinsi Xaysomboun, wilayah yang lama tertutup karena termasuk UXO zone, area dengan sisa ranjau perang Vietnam. Sampai hari ini, gunung ini belum resmi dibuka untuk wisata, membuat akses dan informasinya sangat minim. Bahkan bagi warga lokal, Phou Bia bukan destinasi yang umum dibicarakan.
Ini juga pertama kalinya saya ke Laos. Modal saya hanya Google Maps, motor sewaan, dan rasa penasaran. Peluang tersesat lebih besar daripada peluang berhasil, tapi justru itu yang membuat perjalanan ini terasa perlu dijalani.
Secara tidak sengaja, perjalanan ini menjadi lebih berwarna ketika roommate hostel saya di Vang Vieng, Darell—seorang pelancong asal Tajikistan—memutuskan ikut. Dua orang asing, satu tujuan yang belum tentu bisa dicapai.
---
Tersesat Pertama: Aspal yang Salah Arah
Dari Vang Vieng, Google Maps menunjukkan perjalanan sekitar empat jam menuju Xaysomboun. Jalanan berganti-ganti antara aspal dan batu, sinyal perlahan menghilang, dan plang penunjuk hampir tidak ada.
Di Desa Pakboun, kami memilih jalan aspal daripada jalan tanah berbatu. Logika sederhana yang ternyata keliru. Satu jam kemudian, jalan itu buntu di sebuah PLTA. Dari satpam setempat, kami baru tahu bahwa jalan tanah tadi justru jalur yang benar.
---
Tersesat Kedua: Jalan yang Ternyata Danau
Hari mulai gelap saat kami kembali ke Pakboun. Kami berhenti di warung kecil, menikmati pho Laos murah meriah, lalu bertanya soal jalan ke Xaysomboun.
Barulah kami tahu bahwa jalur di Google Maps sebenarnya menyeberangi danau besar. Satu-satunya akses adalah kapal kelotok, dua jam perjalanan, dan hanya beroperasi sekali sehari—jam 12 siang. Kami pun menginap semalam di Pakboun, menerima kenyataan bahwa spontanitas sering datang dengan kejutan.
---
Tersesat Ketiga: Jalan Buntu Menuju Phou Bia
Xaysomboun menyambut kami dengan suasana tenang, sejuk, dan nyaris tanpa turis. Kota ini terasa baru, rapi, dan berbeda dari gambaran Laos yang sering saya temui.
Menuju Phou Bia, kami kembali mengandalkan Google Maps dan insting. Jalan tanah lebar berkelok di punggungan gunung, tanpa penunjuk arah. Bertanya ke warga lokal pun sering berakhir dengan senyum dan kebingungan.
Satu jam kemudian, jalan kembali buntu. Namun di ujungnya ada setapak kecil, ditandai batang kayu sederhana. Kami mengikuti naluri. Sekitar 15 menit trekking di hutan lumut, sunyi dan lembap, akhirnya kami tiba di puncak Phou Bia.
Tidak ada papan nama. Tidak ada keramaian. Hanya rasa lega karena bisa sampai, di tempat yang sejak awal pun saya ragu bisa dicapai.
---
Tersesat Keempat: Pulang yang Lebih Melelahkan
Kami memilih pulang lewat jalur berbeda menuju Vientiane, melalui Thabok. Awalnya jalan aspal cukup mulus, tapi hanya bertahan sekitar 15 km. Sisanya berubah menjadi jalan tanah berbatu, debu tebal, dan truk besar.
Kami melewati kawasan hutan taman nasional, gelap, sepi, tanpa lampu dan hampir tanpa rumah penduduk. Di titik-titik tertentu, saya membayangkan betapa rapuhnya kami jika motor mogok di sana.
Sekitar jam delapan malam, kami akhirnya tiba di Thabok—lelah, penuh debu, tapi tertawa lega karena berhasil keluar dari situasi yang terasa mencekam.
---
Refleksi: Tersesat dan Usia 30-an
Perjalanan ini bukan tentang menaklukkan gunung tertinggi.
Ini tentang menerima ketidakpastian.
Di usia 30-an, hidup sering terasa seperti perjalanan ini: tujuan ada, tapi jalannya tidak selalu jelas. Kadang kita memilih jalan aspal dan berakhir buntu. Kadang justru jalan berbatu yang membawa kita lebih dekat ke diri sendiri.
Dan mungkin, dalam fase hidup tertentu, tersesat—secara sadar atau tidak—adalah bagian penting dari proses mencari jati diri.
Komentar
Posting Komentar