Ayutthaya: Kota Reruntuhan yang Menenangkan.


Ayutthaya: Kota Reruntuhan yang Menenangkan.
Perjalanan ini adalah bagian dari rangkaian pencarian jati diri saya di usia 30-an, sebuah fase hidup yang entah kenapa membuat saya lebih tertarik pada tempat-tempat sunyi, tua, dan penuh sisa sejarah. Setelah berkeliling beberapa negara di Asia Tenggara, Ayutthaya, Thailand, menjadi salah satu kota yang paling berkesan—bukan karena gemerlapnya, justru karena ketenangannya.

Ayutthaya, Bukan Sekadar Kota Wisata Sehari

Banyak orang datang ke Ayutthaya hanya sebagai day trip dari Bangkok. Datang pagi, foto-foto candi, lalu sore kembali ke hiruk-pikuk ibu kota. Saya justru memilih sebaliknya: tinggal lebih lama, berjalan lebih pelan.

Ayutthaya adalah bekas ibu kota Kerajaan Siam selama lebih dari 400 tahun. Kota ini pernah menjadi salah satu yang terkaya dan terkuat di Asia Tenggara, sebelum akhirnya hancur akibat invasi Burma pada abad ke-18. Kini yang tersisa adalah reruntuhan candi, patung Buddha tanpa kepala, dan tembok bata merah yang diam—namun justru di situlah daya tariknya.

Kenapa Ayutthaya Begitu Berkesan bagi Saya

Ada sesuatu yang sulit dijelaskan ketika pertama kali menginjakkan kaki di Ayutthaya. Udara terasa lebih ringan. Tidak terburu-buru. Tidak memaksa untuk “menikmati”.

Sebagai seseorang yang sedang mencari makna hidup di usia 30-an, Ayutthaya seperti tempat yang tepat untuk berhenti sejenak. Kota ini tidak menawarkan distraksi berlebihan. Ia hanya ada—apa adanya.

Berjalan di antara reruntuhan membuat saya sadar bahwa kejayaan sebesar apa pun pasti akan runtuh, dan mungkin itu pelajaran paling jujur yang bisa diberikan sebuah kota.

Sebagai Orang Jawa, Saya Merasa Akrab di Sini
Ini mungkin terdengar subjektif, tapi sebagai orang Jawa, saya merasa sangat betah di Ayutthaya.

Struktur candinya, tata ruangnya, bahkan aura spiritualnya mengingatkan saya pada tempat-tempat seperti Trowulan, Candi Plaosan, atau kawasan sekitar Borobudur. Ada kemiripan rasa: tenang, kontemplatif, tidak agresif.

Ayutthaya tidak terasa asing. Ia seperti saudara jauh dari peradaban yang sama-sama dipengaruhi India, tapi tumbuh dengan identitasnya sendiri. Perbedaannya, Ayutthaya dibiarkan bernapas—tidak terlalu dipoles, tidak terlalu dikomersialkan.

Kenapa Saya Malas Membahas Bangkok

Bangkok adalah kota besar, modern, dan penuh hiburan. Tapi jujur saja, saya tidak terlalu tertarik membahasnya.

Bangkok terasa seperti kota global yang bisa ditemukan di mana saja: macet, mall, rooftop bar, dan lampu kota. Sementara Ayutthaya menawarkan sesuatu yang semakin langka—ruang untuk diam dan berpikir.

Dalam perjalanan mencari jati diri, saya lebih tertarik pada tempat yang membuat saya bertanya, bukan sekadar terhibur.

Berkeliling Ayutthaya dengan Sepeda
Salah satu pengalaman terbaik di Ayutthaya adalah menyewa sepeda.

Dengan biaya murah, saya berkeliling dari satu candi ke candi lain:
Wat Mahathat dengan kepala Buddha di akar pohon,
Wat Phra Si Sanphet yang megah,
hingga Wat Chaiwatthanaram yang terasa sangat dramatis saat senja.

Bersepeda membuat ritme perjalanan melambat. Saya bisa berhenti kapan saja, duduk di bawah pohon, minum air, dan memandangi reruntuhan tanpa agenda. Tidak ada keharusan untuk “mengejar spot”.

Refleksi: Reruntuhan yang Mengajarkan Kedewasaan

Ayutthaya mengajarkan saya satu hal penting: hidup tidak harus selalu membangun, kadang cukup memahami apa yang runtuh.

Di usia 30-an, kita sering merasa tertinggal, gagal, atau tidak sesuai ekspektasi. Tapi melihat kota sebesar Ayutthaya—yang pernah berjaya lalu hancur—saya sadar bahwa runtuh bukan akhir, melainkan bagian dari siklus.

Dan mungkin, seperti Ayutthaya, kita tidak perlu selalu diperbaiki. Cukup diterima apa adanya.

Ayutthaya, Tempat yang Tepat untuk Pulang ke Diri Sendiri

Jika kamu mencari kota di Thailand yang tidak berisik, tidak memaksa, dan memberi ruang untuk refleksi, Ayutthaya adalah jawabannya. Bukan kota untuk checklist wisata, tapi kota untuk dipahami.

Bagi saya, Ayutthaya bukan sekadar destinasi. Ia adalah cermin—tentang usia, waktu, dan bagaimana kita berdamai dengan diri sendiri.



Komentar