Sukhothai: Kembali ke Awal Peradaban Thailand, Setelah Ayutthaya



Sukhothai: Kembali ke Awal Peradaban Thailand, Setelah Ayutthaya
Setelah Ayutthaya, saya justru merasa perlu mundur lebih jauh ke belakang.
Bukan ke Bangkok. Bukan ke kota besar lain.
Melainkan ke Sukhothai—tempat di mana sejarah Thailand pertama kali benar-benar dimulai.

Jika Ayutthaya adalah simbol kejayaan dan kehancuran, maka Sukhothai adalah kelahiran.
Dan dalam perjalanan mencari jati diri di usia 30-an, kembali ke awal sering kali terasa lebih jujur daripada mengejar puncak.

Sukhothai, Ibu Kota Pertama Kerajaan Thai
Secara historis, Sukhothai adalah ibu kota pertama Kerajaan Thailand pada abad ke-13.
Di sinilah konsep negara Thai, bahasa, aksara, agama, dan sistem pemerintahan mulai dibentuk.

Berbeda dengan Ayutthaya yang kosmopolitan dan penuh pengaruh asing, Sukhothai terasa lebih murni.
Lebih sederhana.
Lebih dekat dengan akar.

Tak heran jika Sukhothai sering disebut sebagai “dawn of happiness”—awal dari kebahagiaan.

Kesan Pertama: Sepi, Lapang, dan Tidak Tergesa-gesa

Tiba di Sukhothai, hal pertama yang saya rasakan adalah ketenangan.
Bukan sepi yang kosong, tapi sepi yang memberi ruang.

Tidak ada kemacetan.
Tidak ada klakson.
Tidak ada ambisi kota besar.

Ini kontras sekali dengan Ayutthaya yang masih ramai wisatawan dan aktivitas lokal.
Sukhothai seolah berkata:

 “Silakan pelan-pelan. Sejarah tidak ke mana-mana.”



Bersepeda di Sukhothai Historical Park
Seperti di Ayutthaya, cara terbaik menikmati Sukhothai adalah menyewa sepeda.
Namun sensasinya berbeda.

Di Ayutthaya, saya merasa seperti mengelilingi reruntuhan imperium.
Di Sukhothai, saya merasa seperti masuk ke halaman pertama sebuah buku sejarah.

Candi-candi berdiri dengan jarak lapang, dikelilingi kolam teratai, rumput hijau, dan langit terbuka.
Tidak saling berebut perhatian.
Tidak saling mendominasi.

Wat Mahathat, Wat Si Sawai, Wat Sa Si—semuanya terasa proporsional, tenang, dan bersahaja.
Nuansa yang Akrab bagi Orang Jawa

Sebagai orang Jawa, ada rasa akrab yang sulit dijelaskan.
Bukan karena bentuknya sama, tapi karena energinya serupa.

Sukhothai mengingatkan saya pada situs-situs tua di Jawa:
tempat ibadah, tempat refleksi, bukan tempat pamer kekuasaan.

Jika Ayutthaya mengingatkan pada Majapahit di masa akhir—besar, kompleks, dan akhirnya runtuh—
maka Sukhothai terasa seperti masa awal Mataram Kuno: sederhana, spiritual, dan fokus pada nilai.

Ayutthaya dan Sukhothai: Dua Bab, Satu Cerita

Perjalanan ini terasa lengkap justru karena saya mengunjungi Ayutthaya lebih dulu.

Ayutthaya mengajarkan tentang:

kejayaan,

ekspansi,

dan kehancuran.


Sukhothai mengajarkan tentang:

permulaan,

kesadaran,

dan arah.


Keduanya seperti dua fase hidup manusia.
Dan di usia 30-an, saya berada di titik di mana memahami awal terasa sama pentingnya dengan menerima akhir.

Refleksi: Kembali ke Dasar

Mengunjungi Sukhothai bukan tentang nostalgia sejarah semata.
Ini tentang kembali ke dasar—nilai, tujuan, dan arah.

Dalam hidup, kita sering ingin menjadi Ayutthaya:
besar, diakui, dan berpengaruh.

Namun ada masa di mana kita perlu menjadi Sukhothai:
tenang, jujur, dan cukup.

Dan mungkin, pencarian jati diri bukan soal naik lebih tinggi,
melainkan berani kembali ke titik paling awal dan bertanya ulang: siapa saya sebenarnya?

Penutup
Jika Ayutthaya membuat saya merenung tentang kejayaan yang runtuh,
maka Sukhothai mengajarkan saya tentang keindahan awal yang sederhana.

Dan di Asia Tenggara, jarang ada tempat yang mampu membuat sejarah terasa begitu manusiawi—
tanpa teriakan, tanpa ambisi, hanya ruang untuk memahami.



Komentar